Tahun Saka 1282,
Badrapada. Sri Baginda Raja berangkat menuju Tirib dan Sempur. Nampak sangat
banyak binatang di dalam hutan. Tahun Saka 1283 Waisaka, Sri Paduka Prabu
berangkat menyekar ke Palah. Dan mengunjungi Jimbe untuk menghibur hati. Di
Lawang Wentar, Blitar menenteramkan cita. Dari Blitar ke selatan jalannya
mendaki. Pohonnya jarang, layu lesu kekurangan air. Sampai Lodaya bermalam
beberapa hari. Tertarik keindahan lautan, menyisir pantai. Meninggalkan Lodaya
menuju desa Simping. Ingin memperbaiki candi makam leluhur. Menaranya rusak, saat
dilihat tampak miring ke barat. Perlu ditegakkan kembali agak ke timur.
Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasati, yang dibaca ulang. Diukur panjang
lebarnya, di sebelah timur sudah ada tugu. Asrama Gurung-Gurung diambil sebagai
denah candi makam leluhur. Untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di
Bajradara. Waktu pulang mengambil jalan Jukung, Inyanabadran terus ke timur.
Berhenti di Bajralaksmi dan bermalam di Candi Surabawana. Paginya berangkat
lagi berhenti di Bekel, sore sampai pura. Semua pengiring bersowang-sowang
pulang ke rumah masing-masing. (Negarakertagama : Pupuh 61-62)
Pupuh 61 dan 62 Kitab Negarakertagama menjelaskan
perjalanan Raja Hayam Wuruk yang menuju Blitar, dimana disebutkan untuk
menghibur hati dalam rangka melepas penat di sela kesibukan memimpin kerajaan.
‘Refreshing’
yang dilakukan oleh Sang Baginda Raja ini dilakukan di Lawang Wentar, yang kini
disebut Candi Sawentar di Blitar. Perjalanan dilakukan mendaki menunjukkan
topografi yang menanjak karena berada di daerah pegunungan. Memang Candi Sawentar berada di lereng Gunung Kelud, yang kini berada di jalan antara
Malang-Blitar.
Di Blitar, beliau menuju Dusun Simping, untuk memperbaiki
makam leluhur. Dusun Simping masih dalam wilayah Blitar. Memang, di Dusun Simping
ada Candi Simping yang merupakan pendermaan Raja Kertarajasa. Besar kemungkinan leluhur yang dimaksud
adalah Raden Wijaya, karena Hayam Wuruk adalah keturunan Raja Kertarajasa, raja
pendahulunya dan pendiri kerajaan yang kala itu sedang dipimpinnya.
Dari Simping, Sang Raja kemudian pulang ke kediaman beliau
dengan mengambil jalan perairan. Memang, zaman dahulu, daratan masih dipenuhi hutan lebat yang penuh dengan hewan liar. Rute darat lebih sulit karena rintangannya lebih banyak. Pilihan jalur perairan dirasa lebih mudah, karena selain lebih cepat juga minim rintangan.
Penggunaan rute perairan ini terbukti dengan disebutkannya kata ‘Jukung’ sebagai kendaraan Sang Raja. Jukung yang dimaksud di sini adalah perahu tradisional, yang merupakan salah satu kendaraan di air yang lazim digunakan etnis melayu. Karena melewati perairan, jelaslah sungai sebagai tracknya. Sungai yang paling dekat dengan Simping adalah Sungai Brantas dan Sungai Konto.
Penggunaan rute perairan ini terbukti dengan disebutkannya kata ‘Jukung’ sebagai kendaraan Sang Raja. Jukung yang dimaksud di sini adalah perahu tradisional, yang merupakan salah satu kendaraan di air yang lazim digunakan etnis melayu. Karena melewati perairan, jelaslah sungai sebagai tracknya. Sungai yang paling dekat dengan Simping adalah Sungai Brantas dan Sungai Konto.
Mengendarai Jukung |
Dalam perjalannya melewati aliran Sungai Konto, malamnya
beliau singgah di Surobawono. Surobawono
adalah sebuah wilayah yang berada di dataran rendah, setelah beberapa kali Sang
Raja sebelumnya selalu singgah di daerah-daerah dataran tinggi di Blitar. Surobawono yang
dimaksud di sini adalah Candi Surowono yang sekarang masuk dalam wilayah Pare, Kediri,
sebuah kota yang tak jauh dari wilayah Jombang.
Selepas bermalam di Candi Surowono, paginya beliau
melanjutkan pulang ke ‘rumah’ dan sampai ketika senja di Bekel. Bekel di sini
adalah Desa Bekel yang masuk dalam Kecamatan Perak Kabupaten Jombang, dan
Jombang bersebelahan dengan Kediri.
Ilustrasi Gunung Penanggungan |
Beberapa sejarahwan menganggap Bekel yang dimaksud adalah Puncak Bekel di daerah perbukitan yang ada di Gunung Penanggungan. Meski ada terakota yang diyakini dari masa Majapahit dan beberapa candi di lereng Gunung Penanggungan, hal ini
dirasa kurang tepat , Ini disebabkan, belum bisa dipastikannya artefak kuno itu dari masa Majapahit dan candi-candi tersebut kebanyakan bukan peninggalan kerajaan Majapahit, melainkan kerajaan-kerajaan pra-Majapahit.
Potret Jukung Melayu |
Selain itu,tidak ada sungai besar yang berada di sekitar lereng penanggungan yang bisa dijadikan jalur lalu lintas air.perjalanan Tidaklah mungkin perjalanan Sang Raja lewat perairan dengan melawan arus sungai yang mengalir dari dataran tinggi ke dataran
rendah. Candi Surowono di Pare Kediri, masuk dalam wilayah dataran rendah, sedangkan Puncak Bekel Gunung Penanggungan berada di dataran tinggi.
Sangatlah tidak mungkin Sang Raja berlayar menyusuri sungai dengan naik perahu kecil dari dataran
rendah ke dataran tinggi.
Gunung Penanggungan adalah dataran tinggi |
Selain itu, letak Gunung Penanggungan bukan berada di rute
perjalanan pulang Sang Raja. Tentunya, dengan perjalanan yang dimulai pagi di
zaman kuno dan sampai saat sore berarti jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh.
Kediaman Sang Raja berada di wilayah Jombang, dan disebutkan para pengiring pun
pulang ke rumahnya masing-masing.
Bersowang-sowang artinya sendiri-sendiri, dimana umumnya karyawan pulang kerja setelah berdinas seharian di zaman modern. Logikanya, bila pulang sendiri-sendiri setelah selesai mengiringi raja berarti rumah para pengiring kerajaan
pastilah tak jauh dari kediaman Sang Raja. Berhubung istana Majapahit berada di Jombang, sehingga Bekel yang dimaksud adalah
Bekel yang ada di Perak, Jombang. Bukan Puncak Bekel di Lereng Penanggungan.
Tentunya, bila yang dimaksud adalah Puncak Bekel, sangatlah kurang relevan karena bila para pengiring pulang sendiri-sendiri, pastilah dirasa terlalu jauh dan memakan waktu perjalanan terlalu lama untuk kembali ke istana ketika para abdi dalem masuk kerja esok harinya.
Bersowang-sowang menuju rumah masing-masing |
Tentunya, bila yang dimaksud adalah Puncak Bekel, sangatlah kurang relevan karena bila para pengiring pulang sendiri-sendiri, pastilah dirasa terlalu jauh dan memakan waktu perjalanan terlalu lama untuk kembali ke istana ketika para abdi dalem masuk kerja esok harinya.
Bekel di Jombang juga dekat dengan Sungai Brantas dan Sungai
Konto dimana Sang Raja menggunakan perahu kecil sebagai kendaraannya. Dari
Bekel, Perak, Sang Raja menuju istananya yang bertempat di Jombang melalui
jalur darat yang memang sudah dekat.
Kediaman Sang Raja tentunya adalah sebuah kompleks istana,
dimana bila ditempuh dari Bekel, pastinya tidak terlalu jauh. Istana itu
berlokasi di sebuah area yang masih berada di wiayah Jombang. Pastinya, dimana
ada istana Sang Raja, di sanalah Ibukota Kerajaan berada.
Balai Desa Bekel Kepuhkajang Perak Jombang |
Tim Laskar Mdang sudah pernah mengunjungi daerah Bekel, daerah
yang namanya sama dengan permainan tradisional anak perempuan yang menggunakan bola
pantul. Biasanya lokasi pemberhentian raja yang tercantum dalam Negarakertagama memiliki penanda, yang kini bisa dikategorikan peninggalan bersejarah.
Sayangnya, tim arkeolog yang mengeksplorasi peninggalan purbakala
spesialis wilayah Jombang ini belum menemukan artefak Majapahit di area ini. Semoga pencarian
ini dimudahkan Allah sehingga artefak yang dimaksud segera ditemukan. Doakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar