“Narasinga
menurunkan Dyah Lembu Tal Sang Perwira Yuda, dicandikan di Mireng dengan arca
Budha. Dyah Lembu Tal itulah bapa Sri Baginda Nata.” (Negarakertagama : Pupuh
46-47)
Masih terjadi banyak perdebatan di kalangan peneliti,
arkeolog dan sejarahwan pemerhati wilwatikta, yang masih bersilang pendapat
tentang siapa sebenarnya Lembu Tal. Semua kubu sepakat, bahwa gelar ‘dyah’ yang
disematkan dalam nama Lembu Tal merupakan identitas kebangsawanan di masa
Majapahit. Miriplah dengan Gusti Kanjeng Ratu yang disematkan di kalangan putri
di keraton Jogjakarta, Raden untuk bangsawan Jawa, maupun His/Her Royal Highness di kalangan kerajaan
Inggris yang sangat terkenal itu.
Namun setiap kubu punya argumennya sendiri. Beberapa
menganggap Lembu Tal adalah ibunda Raden Wijaya, sedangkan kubu lain menyakini
bahwa Lembu Tal adalah ayahanda Sang Prabu Kertarajasa.
Ilustrasi Lembu Tal Sang Panglima Singhasari |
Laskar Mdang cenderung mengacu pada Negarakertagama, dimana
disebutkan dalam pupuh 47, Lembu Tal adalah Ayahanda Sri Baginda Nata. Sri Baginda
Nata adalah sebutan untuk Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana, dan Lembu
Tal-lah ayahanda dari Sang Raja.
Ilustrasi Raden Wijaya : Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana |
Sang Prabu pertama Kerajaan Hindu-Budha terbesar di
nusantara ini meneladani sikap ayahandanya, yang hidup sangat teratur dan
selalu taat terhadap hukum dimana tingkah lakunya begitu baik dan menyenangkan
setiap orang yang memandangnya. Tentunya, perilaku yang sangat baik dari
ayahanda Sang Prabu ini menjadi teladan yang disalin dengan sangat baik oleh
putranya. Siapapun pasti kagum dengan kesantunan keduanya.
Disebutkan di pupuh sebelumnya yakni Pupuh 46, Dyah Lembu
Tal adalah Perwira Yudha, dimana tak sembarang orang mendapat gelar ini. Tokoh yang mendapat gelar ini hanya dua orang, salah satunya Lembu Tal, yang menyiratkan pentingnya peran sosok ini ketika itu. Sang Perwira Yudha yang bisa diperkirakan sebagai sosok maskulin yang merujuk pada ksatria berjenis kelamin laki-laki. Memang dulunya bisa saja ada ksatria
perempuan seperti dalam drama kolosal Tutur Tinular maupun Angling Dharma, namun di zaman itu potensi kemunculannya sangat sedikit.
Dari
penafsiran Siwi Sang dan Profesor Slamet Muljana, Dyah Lembu Tal adalah
panglima perang di era Raja Kertanegara dari Singhasari, kerajaan sebelum
Majapahit. Perannya begitu strategis sehingga sampai dituliskan dalam kakawin
Negarakertagama, bahkan disanjung sebagai sosok yang gagah berani di medan
perang. Bisa dibayangkan Sang Panglima menjadi penopang utama angkatan perang
Kerajaan Singhasari.
Meski demikian, penafsiran mengenai peran Dyah Lembu Tal
dan sosoknya masih berkembang, dan masih terbuka peluang penafsiran baru.
Penafsiran baru ini pun masih diharapkan muncul bila ditemukan naskah manuskrip
baru atau temuan prasasti baru lainnya yang bisa saja muncul ke permukaan
seperti prasasti Mula Malurung.
Sosok Dyah Lembu Tal yang masih dalam perdebatan, tetap ada
satu kepastian dimana pendermaannya. Disebutkan dalam Pupuh 46, ayahanda Sang
Raja dimakamkan dalam sebuah candi di Mireng. Dengan arca Budha yang disematkan di dalam candi pendermaannya, tandanya Lembu
Tal beragama Budha. Meski Budha adalah salah satu agama yang dianut penduduk Majapahit kala itu, berbeda dengan putranya Sang Baginda Nata. Raden Wijaya sendiri beraliran Syiwa, yang artinya beragama Hindu.
Gerbang Dusun Mireng |
Mireng bertempat di Megaluh yang merupakan tepi Sungai Brantas yang kala
itu menjadi desa pelabuhan dan sarana transportasi
utama mobilisasi penduduk. Sungai Brantas bisa jadi dulunya juga lebih besar
dan lebar dua atau tiga kali lipat dari ukuran sekarang. Penyusutan ukuran ini
bisa jadi karena pendangkalan sungai maupun hanyutnya material sungai.
Mireng sendiri, bisa jadi sebagai dermaga biasa yang tak jauh dari Watudakon sebagai salah satu pintu gerbang masuk kerajaan dari perairan.
Mireng sendiri, bisa jadi sebagai dermaga biasa yang tak jauh dari Watudakon sebagai salah satu pintu gerbang masuk kerajaan dari perairan.
Kini, wilayah Mireng masuk Dusun Panasan, Desa Sumber Agung
yang masih masuk dalam Kecamatan Megaluh Kabupaten Jombang setelah dilakukan pemekaran. Meski Mireng tidak
lagi menjadi dermaga utama dan transportasi perairan, desa kecil ini masih
menjadi lokasi penyebrangan dengan perahu tradisional. Istilahnya dengan ‘nambang’,
yang berasal dari kata tambang yang artinya menyeberangi sungai dengan tali
tambang.
Candi Mireng : Pendermaan Lembu Tal |
Team Laskar Mdang terakhir kali mengunjungi Mireng untung
mencari lokasi candi pendermaan Lembu Tal di tahun 2014. Tak jauh dari makam keramat desa setempat, kala itu ditemukan
reruntuhan candi dengan batu andesit yang berserakan di samping Musholla.
Arca Budha yang disebutkan dalam Pupuh 46, tidak terlihat. Bisa jadi sudah rusak, hilang atau bahkan masih terkubur, mengingat banyak peninggalan sejarah di Jombang yang terkubur di dalam tanah,
Tahun 2018 team Laskar Mdang kembali mengunjungi lokasi
untuk melihat kondisi tempat Lembu Tal dicandikan. Rupanya, penduduk desa sudah
paham dan peduli dengan warisan sejarah yang ada di desanya dan secara swadaya dengan anggaran dana desa memasang pagar stainless di sekeliling candi.
Candi Mireng yang sudah diberi pagar |
Sudah menjadi rahasia umum bila menunggu dana dari
Disbudpar dan pengesahan dari BPCB Trowulan, dirasa terlalu lama hingga
berganti-ganti periode kepemimpinan. Sehingga upaya pengamanan benda cagar
budaya ini harus dilakukan pertama kali secara swadaya.
Besar harapan Laskar Mdang, penduduk desa dan para pecinta
sejarah Jombang untuk upaya lebih dari pihak yang berwenang, supaya dilakukan
eskavasi dan restorasi candi salah satu orang terpenting di masa Kerajaan
Singhasari dan Majapahit ini. Doakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar